Mencari Jejak Pahlawan di Tanah Tambang Refleksi Hari Pahlawan dari Maluku Utara

Table of Contents
Mencari Jejak Pahlawan di Tanah Tambang  Refleksi Hari Pahlawan dari Maluku Utara
Rahmat Libahongi
Ketua Umum HMI Komisariat Syari'ah IAIN Ternate
2019/2020

Angin timur berembus pelan dari laut Halmahera, membawa aroma asin dan kabar sunyi dari tanah yang dulu menjadi saksi perjuangan. Di balik kilau air dan rimbun bukit-bukit hijau, Maluku Utara menyimpan cerita lama tentang keberanian, pengorbanan, dan cinta yang tak lekang oleh zaman. Setiap 10 November, gema itu seolah bangkit dari dasar bumi: suara para pahlawan yang dahulu menolak tunduk, menolak dijajah, menolak dilupakan.

Tanggal 10 November selalu mengingatkan bangsa ini pada keberanian dan pengorbanan para pahlawan. Pada hari itu, kita mengenang mereka yang dengan gagah berani menantang penjajahan, mengorbankan segalanya demi tegaknya kemerdekaan. Namun, di tengah gegap gempita peringatan Hari Pahlawan, muncul pertanyaan yang menggelitik nurani: masih adakah pahlawan di tengah zaman yang dikuasai oleh kepentingan ekonomi dan kekuasaan?

Dan lebih dekat lagi: bagaimana makna kepahlawanan itu hidup di Maluku Utara hari ini tanah yang kaya, tetapi juga terluka oleh tambang?

Maluku Utara bukan sekadar gugusan pulau eksotis di timur Nusantara. Provinsi ini adalah saksi sejarah panjang perjuangan bangsa, rumah bagi para pemimpin besar seperti Sultan Nuku dari Tidore—seorang pahlawan nasional yang memperjuangkan kemerdekaan dan harga diri bangsa dari cengkeraman kolonial. Sultan Nuku berjuang bukan demi takhta, melainkan demi rakyat dan martabat bangsanya. Ia memimpin perlawanan yang lahir dari kesadaran akan harga diri dan keadilan, dua nilai yang kini terasa kian mahal di tengah derasnya arus kapital dan eksploitasi sumber daya alam.

Kini, Maluku Utara dikenal sebagai salah satu wilayah dengan potensi tambang terbesar di Indonesia. Di bawah tanahnya tersimpan nikel, emas, dan berbagai mineral berharga yang menjadi incaran banyak perusahaan besar. Kekayaan itu semestinya menjadi berkah, tetapi di sisi lain meninggalkan luka sosial dan ekologis yang dalam. Hutan-hutan gundul, laut tercemar, dan masyarakat adat yang kehilangan ruang hidup semuanya menjadi potret lain dari perjuangan yang belum selesai.

Di tanah tambang ini, kepahlawanan seakan menemukan bentuk baru. Ia tidak lagi terwujud dalam pertempuran bersenjata, melainkan dalam keberanian menjaga lingkungan, mempertahankan tanah leluhur, dan menegakkan keadilan bagi sesama manusia. Mungkin mereka bukan tokoh besar yang namanya tercetak di buku sejarah, tetapi mereka adalah pahlawan dalam arti yang paling nyata: berani melawan ketidakadilan dan memilih berpihak pada kehidupan.

Hari Pahlawan di Maluku Utara bukan sekadar upacara di halaman kantor pemerintah atau ziarah ke makam pahlawan. Ia adalah momentum untuk bercermin: sudah sejauh mana kita menjaga warisan perjuangan para pendahulu? Apakah kita masih memiliki keberanian moral untuk berkata “tidak” terhadap keserakahan yang menggerogoti tanah sendiri?

Namun, menjadi pahlawan di masa kini barangkali tak lagi sesederhana mengangkat senjata atau menolak penjajahan yang berwujud nyata. Musuh zaman ini hadir dalam bentuk yang lebih halus—keserakahan yang dibungkus kemajuan, pembangunan yang menafikan manusia, dan kebijakan yang lebih berpihak pada keuntungan ketimbang kehidupan.

Di Maluku Utara, perjuangan itu kini hidup dalam sosok-sosok yang tak selalu disorot kamera. Ada nelayan yang tetap melaut meski lautnya mulai keruh oleh limbah tambang, berharap anaknya masih bisa melihat ikan di masa depan. Ada ibu-ibu yang menanam kembali bibit di lahan kritis, dengan tangan kasar namun hati penuh harapan. Ada juga para pemuda yang berani bersuara, menulis, berdiskusi, dan menolak bungkam atas kerusakan yang mereka saksikan di tanah kelahiran.

Mereka tidak menunggu gelar “pahlawan”. Mereka hanya ingin hidup dengan bermartabat, di tanah yang diwariskan oleh leluhur, tanpa takut kehilangan udara bersih dan air jernih. Dalam diam mereka berjuang, dalam kesunyian mereka mempertahankan harapan.

Mungkin inilah wajah kepahlawanan hari ini bukan lagi tentang kematian di medan perang, melainkan tentang keberanian untuk tetap hidup dengan nurani yang jernih. Kepahlawanan kini adalah perlawanan terhadap kelalaian, terhadap rasa pasrah, terhadap lupa pada nilai-nilai kemanusiaan.

Dan mungkin, jika Sultan Nuku dapat melihat dari kejauhan, ia akan tersenyum. Sebab semangat yang dulu ia tanam di tanah Tidore itu masih tumbuh, meski dalam wujud yang berbeda. Ia hidup dalam setiap langkah kecil orang-orang yang memilih setia pada kebenaran dan bumi tempat mereka berpijak.

Hari Pahlawan di Maluku Utara bukan sekadar mengenang masa silam. Ia adalah ajakan untuk menyalakan kembali api kecil keberanian di dada kita. Sebab negeri ini, betapapun kaya dan megahnya, tak akan berarti tanpa manusia-manusia yang mau menjaga dan mencintainya—seperti para pahlawan yang datang dari masa lalu, dan seperti mereka yang diam-diam berjuang hari ini, di tanah tambang yang tak henti berdenyut di bawah kaki kita.

Dan pada akhirnya, mungkin kepahlawanan tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya berganti rupa menyelinap ke dalam kerja kecil sehari-hari, dalam sikap jujur yang sederhana, dalam keberanian untuk berkata benar meski sunyi. Sebab selama masih ada hati yang berani melawan ketidakadilan, selama masih ada tangan yang menanam meski tanah kering, dan selama masih ada jiwa yang menolak menyerah pada gelap, di sanalah pahlawan tetap hidup.

Posting Komentar