Desa Berkeramat dan Luka Kepemimpinan

Table of Contents

 

Nadrun Tatapa
Sekum HMI Komisariat Syari'ah IAIN Ternate
Periode 2025/2026

Ada suatu desa di Pulau Morotai, tepatnya di bagian paling utara desa yang berkeramat dan penuh misteri. Desa yang masih menjaga budaya para leluhur, yang hingga kini tetap menjadi rahasia di kalangan para tetuanya.

Desa yang menyimpan banyak cerita itu dahulu dipimpin oleh seorang pemimpin bijaksana. Ia menuntun rakyatnya dalam kedamaian dan keharmonisan. Ia memimpin dengan penuh ketegasan, namun hatinya selalu dipenuhi kasih sayang. Karena kewibawaan dan kebijaksanaannya itu, semua rakyat mematuhinya tanpa ragu.

Di masa kepemimpinannya, rakyat hidup dengan penuh rasa nikmat dan bahagia. Tak perlu kusebutkan namanya dalam tulisan ini, sebab siapa pun yang pernah hidup di masa itu pasti mengingatnya pemimpin yang namanya terukir abadi dalam hati dan pikiran, meski kini raganya tak lagi terlihat.

Dulu, desa itu adalah tempat di mana kesejahteraan bukan hanya kata, melainkan napas kehidupan sehari-hari. Namun, kini segalanya berubah drastis ketika kepemimpinan desa jatuh ke tangan seseorang yang memelintir kepercayaan menjadi alat permainan. Rakyat tidak lagi merasakan kenyamanan dan kesejahteraan yang pernah mereka nikmati.

Mereka seolah dipaksa hidup dalam panggung drama politik yang dibuat hanya untuk menguntungkan kepentingannya.

Hari-hari yang dulunya dipenuhi canda kini digantikan keluhan yang terucap dengan helaan napas berat. Desa yang berkeramat itu kini tampak seperti saksi bisu ketidakadilan. Tempat-tempat yang dahulu menjadi ruang rakyat menyuarakan asa berubah menjadi panggung bagi janji-janji kosong. Sang pemimpin pun mulai menjauhi kerumunan, seolah suara rakyat adalah badai yang ingin dihindarinya.

Setiap keluhan dianggap gangguan, setiap kritik dianggap ancaman. Maka ia memilih jalan paling mudah: bersembunyi di tempat yang jauh dari denyut kehidupan warganya. Ia lebih senang berada di kediamannya yang megah tempat di mana ia tidak perlu melihat wajah-wajah yang menagih janji.

Sementara itu, rakyat hanya bisa saling memandang dalam keputusasaan. Mereka mencoba mendekat, mencoba meminta penjelasan, namun ia selalu menghilang sebelum satu keluhan pun sempat terucap. Seolah kediamannya berada di dunia lain, dunia di mana derita rakyat tidak pernah terdengar.

Padahal, jika kita ingin menengok ke masa kontestasi awalnya, ia tampil dengan visi yang tampak menjanjikan. Kata-kata yang disusunnya terdengar seolah demi kepentingan bersama. Dalam momentum itu, dengan wajah polos namun ambisi yang berkobar, ia dan para simpatisannya menaburkan janji untuk menyembuhkan luka-luka desa setelah kepergian pemimpin bijaksana terdahulu dan setelah periode kelam seorang pemimpin sebelumnya yang telah banyak melukai rakyat.

Ia mencoba membangun berbagai upaya: membangun ruang-ruang formal, nonformal, dan informal yang disertai beragam pendekatan, mulai dari emosional, rasional, hingga transaksional, agar tampak layak dipercaya.

Pada akhirnya, rakyat pun mempercayainya dan memberinya kesempatan menduduki takhta tersebut. Namun kepercayaan itu justru menjadi angin segar bagi para saudagar yang datang berlayar ke sebuah pulau diam-diam mencaplok apa pun yang mereka mau.

Sebab apa yang ia lakukan pada akhirnya hanya menunjukkan bahwa kepercayaan itu diperlakukan seperti ladang yang ingin ia lahap tanpa sisa.

Ia bukan hanya pandai memainkan kata, tetapi juga piawai memainkan hati manusia. Setiap langkahnya seperti babak drama yang disusun rapi: penuh senyum palsu di depan rakyat, namun di belakang layar ia menenun jaring kepentingan yang kotor.

Orang-orang yang mengelilinginya pun bukanlah penasihat bijak, melainkan bayang-bayang kelam dari periode sebelumnya kroni-kroni yang telah lama bermain di balik tirai kekuasaan.

Mereka adalah pelaku yang pernah membuat desa itu tersungkur: mengatur alur dana, memelintir informasi, membungkam suara atas dasar hubungan kekeluargaan. Dan kini, seperti hantu dari masa lalu, mereka kembali menempati posisi di lingkar kekuasaan desa itu.

Dari luar mereka tampak kompak, seolah bekerja demi kemajuan desa. Namun rakyat tahu, aroma lama itu tak mungkin hilang: aroma tipu daya, keserakahan, dan permainan gelap yang sudah berlangsung sejak dulu.

Setiap keputusan yang diumumkan terasa seperti potongan sandiwara baru, dengan rakyat sebagai penonton yang dipaksa bertepuk tangan meski naskahnya membuat mereka mual.

Di balik senyum pemimpinnya yang dengan lihai menyembunyikan ambisi di balik kata “pengabdian” terdapat kepiawaian memelintir kenyataan. Ia membuat orang-orang percaya bahwa semua kritik adalah fitnah, semua pertanyaan adalah ancaman, dan semua penolakan adalah bentuk pengkhianatan.

Namun rakyat bukan lagi penonton yang buta. Mereka telah melihat bagaimana desa itu dirobek perlahan oleh tangan-tangan yang sama, dari periode ke periode.

Kini mereka mulai menyadari bahwa drama yang dipentaskan itu tidak lain hanyalah upaya mempertahankan kekuasaan oleh orang-orang yang sejak dulu hidup dari memanfaatkan kelemahan rakyat.

Di tengah keheningan malam desa, tersisa satu hal yang tidak dapat dimanipulasi oleh siapa pun: ingatan rakyat. Ingatan tentang bagaimana desa ini pernah jatuh, dan siapa saja yang pernah membuatnya terjerembab.

Posting Komentar