Penjajah itu masi ada? Refleksi Manifesto Perjuangan Santri.

Table of Contents
Penulis :  Abdullah Assagaf 

Alumni Pondok Pesantren M.A Al-Khairat Bibinoi Anggkatan  VIII 

Hari Santri bukan hanya sekadar peringatan atas perjuangan di masa lalu. Momen ini juga merupakan pengakuan terhadap peran besar santri dalam perjalanan panjang bangsa Indonesia hingga saat ini. Kaum santri tidak hanya dikenal sebagai penjaga moral dan spiritual masyarakat, tetapi juga berkontribusi signifikan dalam pembangunan bangsa di berbagai sektor.

Penulis mulai dengan organisasi ternama Nadhlatul Ulama merupakan organisasi pergerakan kaum santri nasionalis yang banyak memainkan kiprah strategis dalam menuju Indonesia merdeka. Sejak awal kelahirannya, kelompok sarungan ini banyak berdiam di pesantren sebagai ruang menuntut ilmu agama (fungsi edukasi), mendialogkan budaya lokal (fungsi sosial-budaya) dan melatih kepekaan atas persoalan di masyarakat (fungsi sosial-politik). Sebagai ruang mempelajari ilmu agama, pesantren sukses melahirkan para ulama yang kemudian menyebarkan pengetahuan keagamaannya ke seluruh pelosok negeri. Mereka adalah agen strategis dan penyebar kedalaman ilmu agamanya. Tapi dalam perkembangannya santri tidak dibatasi pengetahuan agama semata, melainkan juga 

diajarkan mengenai prinsip dan paham kebangsaan sebagai bekal untuk berkhidmat kepada bangsa dan negara kelak. Pada titik inilah dapat dikatakan nasionalisme kaum santri tumbuh subur dan memegang peranan besar dalam mencapai cita-cita Indonesia merdeka. Pesantren menjadi asset melatih kecerdasan spritualitas sekaligus membangun kesadaran kolektif sebagai manusia politik, yang berpolitiknya mengarah kepada cita-cita persatuan umat Islam dan kemerdekaan bangsa Indonesia. 

Secara harfiah, pesantren dapat dimaknai sebagai tempat para santri, yang merupakan lembaga strategis kelompok Islam tradisional di Indonesia.  Indoensia pada umumnya pesantren terletak di desa sehingga terpisah dari kehidupan kota. Pesantren yang ditemui selama beberapa dasawarsa awal abad 21 sangat beragam ukurannya, dari yang terdiri dari hanya beberapa puluh murid yang ditampung di rumah sang kyai sampai lembaga besar yang memiliki ratusan santri dan berbagai fasilitas seperti asrama, masjid dan bangunan sekolah. 

Tanah tempat pesantren dibangun seringkali tanah wakaf yang merupakan sumbangan kaum muslimin setempat untuk dipakai kegiatan sosial-keagamaan. Selain santri, memperbincangkan pesantren tidak terlepaskan dari pengaruh seorang kyai sebagai seorang guru dalam lingkungan pesantren.

 

Tokoh sentral di sebuah pesantren adalah kiai yang memiliki peran dan fungsi sangat banyak. Seorang kyai adalah penjaga iman dan guru spiritual yang memiliki otoritas mutlak dalam memberikan pengetahuan agama baik fiqih, tauhiid, bahasa Arab, muamalah dan lainnya.

 

Tapi realitasnya kadang ditemui kyai yang memiliki kompetensi keilmuan terbatas sehinggamengandalkan kharisma dalam menarik orang untuk mengikutinya. Seringkali tunduk kepada kemauan kyai dipercaya dapat memberikan berkah kepada para pengikutnya. Suatu kebiasaan santri, jika bertemu seorang kiai, mencium tangan sang kiai, untuk menunjukkan perbedaan derajat di antara keduanya sekaligus mengharapkan berkahnya. Mematuhi kehendak kiai adalah suatu cara mendapatkan pahala, yang dapat menyelamatkannya di akhirat kelak. 


Salah satu catatan sejarah nasionalisme kaum santri sebenarnya dapat dilacak dari pendirian Nahdlatul Ulama pada 13 Januari 1926. Ketika itu berkumpul lima belas kyai di rumah Wahab Chasbullah di Kertopaten, Sebagian besar berasal dari Jawa Timur. Mereka berdiskusi dan merumuskan langkah strategis mempertahankan kepentingan praktek Islam tradisional yang terganggu dengan munculnya organisasi yang dipengaruhi pemikiran Wahabi dan ide pembaharuan Jamaluddin Al-Afgani dan Muhammad Abduh . Setelah diskusi, akhirnya diputuskan mendirikan Nahdlatul Ulama untuk memperkokoh Islam tradisional di Hindia Belanda, nama Indonesia sebelumnya.

Ada tiga alasan fundamental yang melatarbelakangi pendirian NU yaitu motif agama, motif mempertahankan paham Ahlu al-Sunnah wa ‟l-Jamā‟ah, dan ketiga motif nasionalisme. Motif agama karena Nahdlatul Ulama lahir atas semangat menegakkan dan mempertahankan Islam di Indonesia sekaligus meneruskan perjuangan Wali Songo. Selain itu muncul kesadaran kolektif di kalangan umat Islam mengenai misi penjajah yang ingin menyebarkan idoelogi barat di seluruh Indonesia.

 

Motif mempertahankan Aswaja muncul disebabkan organisasi NU hadir di Indonesia untuk membentengi umat Islam agar tetap mengikuti ajaran islam yang diwariskan nabi, sahabat dan kaum salaf. Motif nasionalisme lahir karena NU memiliki niat menyatukan ulama dan tokoh agama dalam melawan segenap bentuk penjajahan. Semangat nasionalisme pula yang menginspirasi nama Nahdlatul Ulama yang berarti Kebangkitan Para Ulama .

Dengan mengacu kepada paham Ahlus Shunnah wa Al-Jam‟ah dan menggunakan pendekatan 

(al-madzhab), maka ada beberapa pemikiran Islam mendasar yang dipakai Nahdlatul Ulama dan dijalankan para pengikutnya. Dalam bidang aqidah, Nahlatul Ulama mengikuti Ahlus Shunnah wa Al-Jam‟ah yang dipelopori Imam Abdul Hasan Al-Asy‟ari dan Imam Mansur Al-Maturidi. Dalam pemikiran fiqih  Nahdlatul Ulama mengikuti jalan pendekatan (Madzhab) salah satu madzhab Abu Hanifah, Imam Malik, Imam AlSyafi‟i, dan Imam Ahmad bin Hambal. Untuk ilmu Tasawuf, Nahdlatul 

Ulama mengikuti Al-Junaid Al-Baghdadi dan Imam Al-Ghazali, dan beberapa iman-iman lainnya Dalam Muktamar NU tahun 1930, KH Hasyim Asy‟ari mempertegas pemikiran di atas, sebagaimana dipaparkan dalam pikiran pokoknya mengenai organisasi NU yang dikenal sebagai Qānūn Asāsī Jam‟iyah NU (undang-undang dasar jamiah NU). Sejalan perkembangan jaman, organisasi yang dipimpin KH Hasyim Asy‟ari ini banyak memainkan peran strategis dalam mencapai Indonesia merdeka. Mengandalkan konsolidasi pesantren dengan perpaduan SDM santri dan kyai, NU mengokohkan semangat kebangsaan dan mengobarkan semangat perlawanan terhadap penjajah melalui berbagai kebijakan politiknya.  Beberapa kebijakan politik NU yang dinilai strategis bagi bangsa Indonesia adalah penetapan Dar el Islam, Resolusi Jihad, penetapan Soekarno sebagai Wali al-Amr ad}-d}aruru bi asy-Syaukah dan partisipasi aktif ulama NU dalam merumuskan Piagam Jakarta. 

Semua bukti historis itu menandakan pesantren, kyai dan santri merupakan varian penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. Semua itu berhimpun dalam organisasi massa Islam terbesar yaitu Nadhlatul Ulama dengan salah satu tokoh pentingnya, KH Hasyim Asy‟ari.  Maka dapat disimpulkan, membicarakan kiprah kebangsaan salah satu ulama terbaik Indonesia, KH Hasyim Asy‟ari akan selalu bersinergis dengan kehidupannya yang berlatar belakang pesantren, perannya sebagai seorang kyai, aktivitas politiknya dalam pergerakan kemerdekaan 

Indonesia melalui NU dan nilai strategisnya yang memberikan banyak sekali inspirasi untuk santri-santrinya. Dalam kesempatan ini, opini yang disajikan penulis berusaha fokus kepada peran kebangsaan dan keumatan KH Hasyim Asy‟ari khususnya berkaitan dengan Resolusi Jihad yang mampu menggerakkan ulama, santri dan rakyat Indonesia mengusir penjajah Inggris dan Belanda dari bumi Indonesia. 

Lemahnya pendidikan membuat Masyarakat Indonesia mengalami krisis pengetahuan dan jatuh dalam jurang kebodohan. Hal ini menjadi sebuah alasan mengapa penjajah Belanda, Jepang dan Inggris mampu berkuasa di Indonesia. Mereka sukses memanfaatkan kebodohan masyarakat Indonesia dan kerasnya persaingan antar kerajaan di Nusantara, sehingga politik ada domba (devide et impera) mudah dijalankan dengan baik. Dengan titik lemah tersebut, penjajah yang dilengkapi pengetahuan, taktik perang dan persenjataan yang canggih mampu menjajah Indonesia dalam jangka waktu yang lama.

 

Penjajahan Belanda sudah berlangsung sejak zaman kerajaan di Indonesia, dimana ketika itu mereka sukses mempraktekan politik adu domba sehingga banyak kerajaan di Nusantara yang mampu ditaklukannya. Penjajahan yang cukup lama dapat dinilai sukses mengeksploitasi kekayaan alam dan manusia Indonesia. Berbagai produk hasil tanaman Indonesia khususnya rempah-rempah “dicuri” penjajah dari bumi Indonesia, kemudian dipakai untuk membangun perekonomian negara jajahan. 


Sementara penduduk Indonesia diperlakukan sebagai pekerja keras dan budak, serta dilabeli sebagai inlander dan didudukkan sebagai golongan terendah setelah kelompok berkulit putih (bangsa Eropa) dan kulit bening (China).  

Adanya kasta dalam struktur sosial Masyarakat berjalan cukup lama dan seringkali merugikan bangsa Indonesia.Kondisi mulai berubah seiring berjalannya waktu, dimana dorongan kelompok humanis di Belanda melahirkan politik etis (politik balas budi-pen) Kondisi ini melahirkan kelompok kaum intelektual pribumi yang melahirkan tokoh muda terdidik-tercerahkan seperti 

Agus Salim, Natsir, Soekarno dan Hatta. 

Mereka memimpin rakyat untuk mengusir kalangan penjajah dari bumi Indonesia dengan percikan pemikiran, pidato kebangsaan dan tulisan yang tersebar di media massa. Strategi perlawanan kelompok intelektual ini terhitung cukup variatif mulai dari serangan militer (perang gerilya), tulisan pro kemerdekaan di media hingga kesediaan duduk di meja perundingan yang bersifat damai, terstruktur dan terorganisir. 

Dalam menghadapi penjajahan Belanda, seorang ulama kharismatik yang menjadi pemimpin Pondok Pesantren kalah itu, KH Hasyim Asy‟ari melakukan perlawanan secara aktif, progresif dan bersifat nonkoooperatif. Melalui didikan beliau, para santri tidak hanya belajar ilmu agama Islam semata melainkan diajarkan bahasa Belanda, berhitung, berpidato dan ilmu bela diri. 

Semua pembelajaran itu ditujukan sebagai bentuk menyiapkan kader santri berjiwa nasionalisme tinggi yang harus bersiap diri menyambut panggilan jihad membebaskan Indonesia dari cengkeraman penjajahan Belanda. 

Mereka adalah pasukan berani mati yang selalu siap memberikan segala potensi terbaiknya untuk bangsa dan negara. Selain itu, KH Hasyim Asy‟ari juga mengeluarkan fatwa yang mengharamkan umat Islam di Indonesia bergabung menjadi tentara Belanda. Sikap kerasnya ini membuat dirinya memiliki pengaruh di kalangan rakyat Indonesia, disegani kawan maupun lawan. Tapi sikap politiknya yang nonkooperatif sempat membuat Belanda marah sehingga membakar pesantrennya pada tahun 1913.  

Di tahun 1935 Belanda berusaha bersikap “manis” terhadap kyai kharismatik ini dengan mengirimkan dua utusan ke  dua orang pasukan ke pesantren untuk memberikan gelar bintang perak atas jasa KH Hasyim Asy‟ari dalam mengembangkan pendidikan Islam di Hindia Belanda. Dengan pemberian gelar itu diharapkan tercipta hubungan baik dan sinergitas antara kelompok Islam dengan Belanda sebagai penguasa saat itu. Merespons penghargaan itu, KH Hasyim Asy‟ari dengan tegs menolaknya karena memahami pemberian 

gelar sebagai tipu muslihat untuk menjinakkan sikap kerasnya kepada penjajah. Tak mau menyerah, Kembali Belanda memberikan penghargaan lebih bergengsi berupa bintang emas yang ditolak secara tegas oleh sang kyai. Hal ini tidak pelak membuat hubungan Belanda dan kaum nahdiyyin tidak harmonis. Apalagi semakin berkembang secara massif pandangan bahwa Belanda adalah orang kafir yang tidak dapat diterima masyarakat Indonesia yang dominan beragama Islam. 

Di tengah berbagai usaha Belanda “melumpuhkan” perjuangan KH Hasyim Asy‟ari, sang kyai tetap kokoh mengobarkan api revolusi dengan menegaskan berjuang membela tanah air hukumnya wajib bagi seluruh bangsa Indonesia. Beliau juga mengeluarkan fatwa wajibnya berjihad untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah sehingga banyak sekali pemuda Indonesia yang menyambut seruan ini. 

Barisan pemuda ini secara sukarela siap menjadi martir bagi revolusi Indonesia dalam mengusir penjajah. Ketertarikan anak muda kepada seruan jihad ini membuat Belanda sebagai penguasa saat itu mengalami kekhawatiran mendalam. Mereka takut tenaga muda Indonesia yang dibutuhkan untuk kepentingan militer Belanda justru berbalik menyerang kepentingan mereka di negara jajahan. Untuk itu, Belanda terus mengawasi pergerakan KH Hasyim Asy‟ari dan memikirkan berbagai taktik dan strategi untuk melumpuhkan segala bentuk pergerakan dakwah dan politiknya. 

Penjajah itu masi ada  

TRANS7 tengah menjadi sorotan usai salah satu programnya, Xpose Uncensored, menayangkan segmen yang menyinggung Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur serta kiai dari pondok pesantren tersebut, Kiai Haji Anwar Manshur. “Santrinya Minum Susu Aja Kudu Jongkok, Emang Gini Kehidupan Pondok?”. 


Penulis mengajak pembaca  memaknai ini secara serius? Santri, dengan segala dedikasinya terhadap ilmu agama dan kemasyarakatan, telah menunjukkan peran pentingnya tidak hanya untuk Indonesia, tetapi juga bagi peradaban dunia. Pesantren, sebagai tempat pendidikan tradisional Islam di Indonesia, telah melahirkan generasi santri yang dibekali dengan nilai-nilai luhur seperti toleransi, keadilan, dan kedamaian. 


Nilai-nilai inilah yang menjadikan santri memiliki potensi besar dalam menjawab tantangan global saat ini.  Di tengah dunia yang seringkali dilanda konflik agama dan budaya, santri Indonesia tampil sebagai duta moderasi Islam. Mereka membawa pesan damai, memperkenalkan wajah Islam yang penuh rahmat dan cinta kasih, jauh dari citra radikal dan kekerasan. Pesantren mengajarkan Islam yangkali ramah, terbuka, dan inklusif, sebuah ajaran yang sangat relevan untuk mencegah radikalisme dan terorisme yang kerap mencoreng citra Islam di mata dunia.   

Moderasi Islam yang diajarkan di pesantren Indonesia telah menjadi model penting dalam menjaga keharmonisan global. Santri tidak hanya aktif di dalam negeri, tetapi juga telah terlibat dalam berbagai forum internasional yang mengusung isu-isu perdamaian, pendidikan, dan kemanusiaan. 

Kontribusi mereka di bidang-bidang ini membuktikan bahwa santri tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga mampu memberikan solusi bagi tantangan global yang kompleks. Santri yang terlibat dalam berbagai organisasi internasional baik dalam bidang keagamaan, pendidikan, maupun kemanusiaan—membawa misi mulia untuk menciptakan peradaban dunia yang lebih damai dan berkeadilan. Mereka berkontribusi dalam membangun jembatan dialog antarumat beragama, mempromosikan toleransi, serta memberikan bantuan kemanusiaan kepada mereka yang membutuhkan di berbagai belahan dunia.   

Penutup Resolusi Jihad adalah tonggak sejarah yang menunjukkan betapa besar peran santri dalam menjaga dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Hari Santri bukan hanya tentang perjuangan masa lalu, tetapi juga tentang peran santri saat ini dan masa depan, Dengan semangat jihad yang terus hidup, santri akan terus menjadi pilar penting dalam menjaga keutuhan bangsa dan membangun peradaban yang adil dan damai. 

Posting Komentar