Nasionalisme dan Kesadaran Global: Kritik Pemikiran Bung Karno dan J. Krishnamurti tentang Identitas dan Persatuan
![]() |
Bung Surya Rauf Ketua Umum BPL HMI Cabang Ternate 2024-2026 |
Sejak kemarin, saya dihubungi oleh seseorang yang telah lama saya kenal. Beliau adalah seorang sahabat yang terkenal baik dan ramah. Di lain sisi, Ia adalah teman diskusi yang kritis.
Saya diminta untuk menulis sebuah artikel untuk kolom pertama di website baru HMI komisariat syariah IAIN Ternate. Seharian penuh, saya berusaha memenuhi permintaan itu dengan membaca beberapa karya besar Bung Karno.
Akhirnya, saya sampai pada pemikiran besarnya tentang nasionalisme. Agar tulisan saya terasa lebih jujur dan seksi, saya pun mencoba mencari artikel pemikiran guru-guru besar dunia tentang nasionalisme di Google Scholar. Saya kemudian tertarik pada salah satu tokoh bernama Jiddu Krishnamurti yang berasal dari India.
Alasan saya membandingkan pemikirannya dengan pemikiran Bung Karno adalah karena sudut pandang mereka tentang nasionalisme. Namun, nasionalisme yang ditawarkan Krishnamurti cukup berbeda dengan ide nasionalisme Putra Sang Fajar. Untuk detailnya, saya uraikan dalam tulisan di bawah ini.
Jiddu Krishnamurti, seorang filsuf spiritual dengan segala pandangannya yang menolak segala bentuk otoritas dan ideologi (termasuk di dalamnya nasionalisme), boleh jadi terlihat menarik bagi pribadi individualis yang enggan hidup bermasyarakat; mereka yang menginginkan kebebasan total dari beban identitas kolektif.
Ia berpendapat bahwa identitas nasional hanyalah bentuk lain dari penindasan psikologis yang memperkuat batas-batas antarmanusia. Namun, sesungguhnya, jika diselidiki lebih dalam, ajaran spiritual semacam itu tidak relevan dengan konteks kita sebagai bangsa Indonesia.
Bung Karno, Bapak Proklamator kita, meletakkan dasar pemikiran yang justru mengangkat nasionalisme sebagai kekuatan pemersatu dan penggerak perubahan sosial. Baginya, nasionalisme bukan sekadar simbol kosong, melainkan alat untuk membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajahan dan penindasan kapitalisme internasional.
Nasionalisme dalam pandangan Bung Karno adalah bagian dari revolusi mental—sebuah gagasan bahwa pembebasan sejati harus dimulai dari kesadaran kolektif bahwa kita adalah bagian dari bangsa yang sedang berjuang.
Ketika Krishnamurti menyerukan pembebasan individu dari semua bentuk ideologi, Bung Besar kita justru menekankan bahwa kebebasan individu tidak mungkin terwujud tanpa perjuangan kolektif. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara ajaran Krishnamurti yang bersifat individualis pasif dengan ajaran Bung Karno yang penuh hasrat revolusioner.
Dalam ajarannya tentang Marhaenisme, Bung Karno menekankan pentingnya kesadaran politik dan sosial sebagai syarat mutlak untuk mengubah nasib. Sebaliknya, ajaran Krishnamurti yang mendorong manusia menjauh dari identitas kolektif justru dapat dilihat sebagai penghambat proses pembebasan sosial-ekonomi yang lebih berkeadilan dan manusiawi.
Nasionalisme Indonesia, sebagaimana digagas oleh Bung Karno, adalah alat perjuangan untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini adalah nasionalisme yang inklusif; tidak berfokus pada identitas primordial sempit, seperti etnis atau ras, melainkan pada perjuangan bersama untuk meraih kemerdekaan, baik secara politik maupun ekonomi. Dalam hal ini, nasionalisme bukanlah "penjara batin" seperti yang "ditakutkan" Krishnamurti, melainkan sebuah kendaraan menuju pembebasan yang konkret.
Tidak seperti khayalan ilusif Krishnamurti yang menganggap nasionalisme memperkuat dinding pemisah antarmanusia, Bung Karno justru dengan cerdas melihatnya sebagai jembatan yang mempersatukan seluruh rakyat untuk melawan musuh bersama kemanusiaan: kapitalisme dan imperialisme. Oleh karena itu, nasionalisme semestinya adalah kekuatan revolusioner yang harus diterima sebagai bentuk perjuangan melawan imperialisme, bukan ditolak mentah-mentah dan dianggap belenggu batin sebagaimana dalam pemahaman sempit Krishnamurti.
Konsep revolusi mental yang digaungkan oleh Bung Karno bukan revolusi mental yang dikampanyekan secara sontoloyo oleh Mulyono. ajaran Bung Karno adalah ajakan untuk mengubah cara berpikir rakyat Indonesia dari mentalitas yang tunduk pada penjajahan menuju kesadaran akan keberdikarian, akan kekuatan diri sebagai bangsa yang sepenuhnya merdeka. Bung Karno mengajak rakyat untuk berani bermimpi besar, berani memimpin diri sendiri, dan berani bangkit melawan segala bentuk penindasan.
Revolusi mental ini adalah bagian integral dari perjuangan bangsa untuk menjadi mandiri secara politik, budaya, dan ekonomi.
Di sisi lain, ajaran revolusi batin ala Krishnamurti hanya berfokus pada pembebasan individu dari segala keterikatan mental, termasuk identitas sosial, budaya, dan politik. Ia percaya bahwa kebebasan sejati hanya dapat dicapai melalui pemahaman diri yang mendalam dan pembebasan dari segala bentuk otoritas luar.
Dalam kacamata Krishnamurti, orang yang mengidentifikasi diri dengan identitas kebangsaan atau kebudayaan adalah orang yang batinnya terpenjara oleh konsep. Misalnya, jika kita mengaku sebagai nasionalis yang bangga dengan identitas Indonesia atau sebagai orang Maluku Utara yang bangga dengan identitas kesukuan, kita akan dipandang sebagai pribadi yang belum tercerahkan secara batin.
Seperti itulah ajaran revolusi batin Krishnamurti: sebuah hasrat individualis untuk mengingkari dan menolak segala struktur sosial dan budaya. Singkatnya, sebuah ajaran naif yang bertopeng pada konsep ketidakmelekatan.
Oleh karena itulah, saya berpandangan bahwa ajaran spiritual Krishnamurti tidak relevan bagi bangsa Indonesia. Dalam konteks perjuangan bangsa yang menghadapi ketidakadilan struktural, pendekatan spiritualitas ilusif dan kontra-revolusioner semacam itu justru merupakan hal yang konyol dan tidak relevan.
Sementara itu, Bapak Bangsa kita, Bung Karno, telah memahami bahwa perubahan mentalitas personal harus bermuara pada perubahan sosial. Revolusi mental bukan sekadar kontemplasi pribadi layaknya ajaran revolusi batin Krishnamurti, melainkan sebuah gerakan kolektif yang melibatkan seluruh elemen bangsa untuk melawan ketidakadilan.
Di sinilah relevansi ajaran Bung Karno yang unggul dibandingkan dengan Krishnamurti. Bung Karno menawarkan solusi yang lebih relevan dan nyata bagi masyarakat Indonesia yang secara kolektif masih dibelenggu oleh ketidakadilan sistemik.
Selanjutnya, segala pandangan Krishnamurti tentang nasionalisme dan ideologi, menurut saya, tidak lain adalah contoh spiritualisme pasif yang terbukti gagal memahami realitas perjuangan sosial. Bagi kaum Marhaen yang merupakan 99 persen elemen bangsa ini dan yang sedang terjepit di bawah kekuasaan kapitalisme global ajaran Krishnamurti tampak seperti opium mental untuk melarikan diri dari tanggung jawab sosial.
Revolusi mental yang digagas oleh Bung Karno sekali lagi, bukan yang istilahnya dibajak oleh Mulyono jauh lebih relevan bagi bangsa ini. Bung Karno menekankan pentingnya tindakan kolektif untuk meruntuhkan struktur sosial yang menindas.
Revolusi mental ala Bung Karno tidak hanya berfokus pada transformasi individu, tetapi juga pada transformasi masyarakat secara keseluruhan. Inilah revolusi yang menggabungkan dimensi spiritual dan material; yang menyatukan batin dengan tindakan konkret untuk mencapai kemerdekaan yang sebenar-benarnya kemerdekaan lahir dan batin.
Sebaliknya, gagasan revolusi mental-nya Bung Karno justru menawarkan solusi yang lebih konkret dan relevan untuk menghadapi berbagai tantangan sosial di dunia modern.
Selain itu, dengan menolak gagasan nasionalisme dan perjuangan sosial, Krishnamurti dalam hemat saya, hanya memperkuat status quo dan tatanan kapitalisme yang meminggirkan kebutuhan akan perubahan sosial yang mendesak. Bagi bangsa Indonesia, ajaran Bung Karno tetap menjadi landasan yang lebih kuat untuk mencapai kemerdekaan yang sebenar-benarnya: kemerdekaan yang tidak hanya batiniah, tetapi juga lahiriah.
Posting Komentar