Gerakan Membangun Masa Depan Tanpa Intervensi

Table of Contents
Gerakan Membangun Masa Depan Tanpa Intervensi
Surya Rauf

Ketua Umum BPL HMI Cabang Ternate 2024-2026

Setiap transformasi sosial yang besar harus diawali oleh gagasan besar dan pemikiran revolusioner. Gagasan dan pemikiran inilah yang menjadi pelopor, pemimpin, dan pembentuk utama dari suatu transformasi sosial.

Jika seorang individu atau sebuah organisasi berbicara dan bertindak tanpa dilandasi gagasan besar yang revolusioner, yang mengikutinya hanyalah kekerdilan berpikir dan watak kontra-revolusioner. Akibatnya, output yang dihasilkan tidak akan memiliki dampak nyata bagi transformasi sosial dan pada ujungnya hanya akan menjadi "komedi omong" belaka.

Optimisme akan transformasi sosial yang besar harus berawal dari penyusunan gagasan-gagasan besar dan sikap revolusioner, bukan dari memupuk sikap konyol serta tindakan tanpa landasan berpikir yang jelas.

Contoh konkret dalam melawan hegemoni "Kadrunisme" tidak bisa hanya dengan mengandalkan klenik atau ilmu metafisika, apalagi dengan membentuk perkumpulan kultus yang fanatik terhadap tokoh. 

Sikap seperti itu sangat kontra-revolusioner. Yang urgent kita butuhkan dan perlu gencarkan adalah kontra-wacana intelektual yang jelas serta proyek kebudayaan tandingan yang konkret, terarah, kritis, dan revolusioner sesuai semangat zaman.

Pada awal abad ke-20, para pendahulu kita telah memiliki pemikiran revolusioner dan gagasan besar yang konkret untuk melawan kolonialisme Belanda, misalnya melalui pembentukan koran perlawanan dan organisasi modern yang egaliter, progresif, serta adaptif dengan zaman. 

Mengapa kini saat banyak yang sadar sedang dijajah oleh "kolonialisme ketuhanan" versi Kadrun justru terjadi krisis pemikiran revolusioner dan kemandulan dalam memproduksi gagasan besar, segar, dan konkret untuk menumbangkan Kadrunisme?

Belajar dari sejarah Jawa, Raden Mas Said atau Mangkunegara I memang dikenal hebat dalam perlawanannya terhadap kolonialisme Belanda. Ia bahkan dijuluki "Samber Nyawa" sebutan yang identik dengan malaikat maut karena tak terhitung banyaknya antek kolonial yang tewas disambar dalam gerilya perlawanannya.

Akan tetapi, sehebat apa pun perlawanan fisik Pangeran Samber nyawa, dampaknya terhadap kekuasaan kolonial Hindia Belanda masih kalah dahsyat dibandingkan dengan keturunannya, Tirto Adhi Soerjo, yang justru "menyambar nyawa" kolonialisme melalui jalan pers sebuah jalan intelektual yang revolusioner.

Jika dihitung dalam rentang waktu, Tirto Adhi Soerjo menerjang jantung kolonialisme Hindia Belanda dengan senjata pena di awal abad ke-20 adalah segenerasi dengan kakek buyut generasi milenial seperti kita. Nah, pada masa itu saja, generasi leluhur kita sudah menyadari bahwa menumbangkan kolonialisme dan imperialisme tidak efektif dilakukan melalui kekerasan fisik apalagi yang bersifat sporadis, kedaerahan, serta tidak terorganisir dengan rapi.

Mereka belajar dari ketidakefektifan Perang Aceh, Perang Maluku, Perang Jawa, dan Perang Puputan di Bali dalam mengusir kolonialisme Belanda yang bersenjata modern dan terorganisir dengan baik. Oleh karena itu, mereka pun menyiapkan perlawanan dengan cara yang modern dan efektif melalui tulisan-tulisan yang membangkitkan kesadaran rakyat terjajah serta pembentukan serikat-serikat organisasi.

Maka, jika hari ini masih ada yang bersikukuh menggunakan senjata api (laras bedil) dalam pergerakan, hal itu jelas merupakan tindakan yang dungu, primitif, dan mencerminkan nurani kemanusiaan yang rendah.

Jika generasi muda Nusantara yang kini tersadar ingin melawan penjajahan yang luput dari catatan sejarah nasional yaitu "kolonialisme tahayul Arab" maka lawanlah dengan cara yang modern, humanistik, dan progresif-revolusione melalui organisasi modern yang solid dan media propaganda untuk menyebarkan tulisan-tulisan kritis.

Keahlian silat atau nyali keberanian saja tidak cukup dijadikan modal perlawanan. Di zaman modern ini, bahkan apa yang Anda sebut sebagai "Tahayulisme Arab" sejak awal abad ke-20 telah terorganisasi secara modern dan revolusioner. Tentu saja, melawan hegemoni tersebut memerlukan senjata perlawanan yang juga modern dan revolusioner.

Setidaknya, ada tiga senjata perlawanan modern-revolusioner: pengetahuan sejarah, organisasi, dan media propaganda.

Melalui pengetahuan sejarah, kita dapat membangunkan putra-putri Nusantara yang masih terbenam dalam pengaruh kolonialisme "Tahayul Arab"—menunjukkan bahwa bangsa Nusantara dahulu adalah bangsa besar dengan warisan kebesaran yang gemilang, bukan bangsa yang inferior seperti narasi yang dibentuk pasca masuknya kolonialisme tersebut.

Dengan mengkaji pengetahuan sejarah Nusantara masa silam, kita akan memahami seluk-beluk dan akar ketertindasan bangsa oleh kolonialisme "Tahayul Arab", sekaligus menemukan strategi paling tepat untuk melawannya.

Selanjutnya, dengan membangun organisasi, kekuatan perorangan disatukan menjadi gelombang kekuatan massa yang besar. Kumpulan orang-orang yang sevisi dan semisi ini akan menjadi raksasa pengusung api revolusi di bangsa ini.

Yang tak kalah vital adalah media propaganda corong untuk berbicara kepada khalayak dan membangkitkan semangat perlawanan. Melalui media propaganda, kita memiliki "mulut" untuk menyampaikan pemikiran, gagasan, bahkan tuntutan revolusioner kita kepada dunia.

Maka, berpengetahuanlah, berorganisasilah, dan gunakan media propaganda sebagai senjata!

Jika di zaman kuno perang diadu dengan panah, dan di era berikutnya dengan bedil, maka pertarungan dahsyat zaman ini adalah kompetisi pemikiran revolusioner melawan tirani kemanusiaan, keyakinan, dan kebudayaan.

Jadikanlah samudra ilmu pengetahuan sebagai mesiu, dan butir-butir pemikiran yang cerdas, cemerlang, serta revolusioner sebagai pelurunya!

Posting Komentar