Fagogoru dari Titik Nol

Table of Contents
Ijan Sileleleng

Ketua Umum HMI Komisariat Febi IAIN Ternate

Jauh sebelum Islam masuk ke Maluku, Patani dan Maba sudah mengumandangkan azan. sebelum Negara ini hadir, Alm. Haji Salahuddin sudah mengibarkan bendera merah putih di Tanjung Ngolopopo. Jauh sebelum ada pemekaran kabupaten, Maluku Utara, serta sebelum ada presiden, gubernur, dan bupati, Hutan Fagogoru sudah dihuni oleh empat bersaudara, yaitu Bortango, Bornabi, Borfa, dan Kufa. 

Mereka terdiri dari tiga orang laki-laki dan satu perempuan yang membuka belantara hutan pada masa itu.

Berdasarkan hikayat sejarah para leluhur dan cerita tetua, awal mula kehidupan mereka berada di Hutan Damuli. Suatu ketika, keempat bersaudara itu menyusuri Sungai Gowonle untuk menuju pesisir pantai Ngolopopo. Namun, banjir menerjang Sungai Gowonle dan menghanyutkan saudara perempuan mereka, memisahkannya dari ketiga saudara laki-lakinya. 

Saat itulah mereka berusaha mencari, tetapi naas, sang saudara tidak kunjung ditemukan. Akhirnya, mereka memutuskan untuk kembali ke Gunung Damuli.

Sampai pada tempat mereka, ketiga bersaudara ini bersepakat untuk berpisah dan membangun kehidupan masing-masing. Setelah memilih wilayah, ketiganya bergandeng tangan lalu bersumpah, "Fatut re Faddel, Fasannang re Berahi" (Bersaudara yang baik, susah dan senang tetap sama-sama).

Kemudian, yang satu membangun pemukiman bernama Mobon. Yang kedua melanjutkan kehidupan awal mereka dengan membangun pemukiman di Hutan Damuli yang bernama Photon. Dan yang ketiga membangun pemukiman bernama Were.

Nama awal ketiga kampung itu dalam perjalanan waktu berganti: Were berganti nama menjadi Weda, Photon menjadi Patani, dan Mobon menjadi Maba (Maba Baitullah). Ketiga kampung ini memiliki makna nama tersendiri dan dikenal sebagai Pitu Pitel (Tiga Negeri).

Meskipun ketiga bersaudara berpisah, mereka berjanji untuk bertemu setahun sekali di Negeri Photon (Patani), yang disebut sebagai "Peniti di Bawah Gunung Damuli"—kampung yang paling tua dari tiga negeri bersaudara. Dari sinilah, pertemuan tersebut melahirkan tradisi Fanten, yaitu tradisi saling memberi yang mempertemukan antar kampung, bersamaan dengan peringatan Maulid Nabi.

Sumpah para leluhur, "Fatut re Faddel, Fasannang re Berahi", dan tradisi Fanten inilah yang merupakan fondasi lahirnya Fagogoru. Gogoru adalah rasa yang mengutamakan kelembutan, cinta, dan kasih sayang yang tak terbatas, faisayang, falgali, faifi. 

Fagogoru memiliki banyak makna nilai sebagai sebuah falsafah hidup, perekat sejarah, dan kebudayaan masyarakat Weda, Patani, dan Maba. Ia merupakan falsafah sosial atau pandangan dunia masyarakat Fagogoru yang menjadi pijakan dan pegangan hidup dalam keseharian.

Kemudian, ditelusurilah saudari perempuan mereka, Kufa, yang terhanyut. Ia mengikuti batang kenari yang terhampar di Pulau Makean. Di sana, ia menjejaki Hutan Makean dan membangun peradaban.

Makna dan Nilai-Nilai Fagogoru

Ngaku re Rasai (Mengaku dan Merasai)

Ngaku (mengaku) adalah pengakuan antarmanusia yang mencerminkan rasa bersaudara. Maknanya tidak terbatas pada hubungan antarmanusia semata. "Ngaku" juga merupakan sebuah pengakuan terhadap Allah SWT sebagai bentuk persaksian. Rasai atau farasai adalah rasa bersaudara. Makna ini adalah tentang merasakan—merasakan sakit, pahit, dan manis yang mengharuskan kebersamaan. Satu rasa, semua rasa, merasakan kebaikan atau kekurangan sesama manusia.

Budi re Bahasa (Berbudi dan Berbahasa)

Berbicara dan bertindak dengan sopan, santun, dan luhur di hadapan sesama manusia.

Sopan re Hormat (Sopan dan Hormat)

Menunjukkan sikap saling menghormati, baik kepada yang lebih muda maupun yang lebih tua. Makna ini menegaskan moral dan etika dalam segala aspek kehidupan.

Mtey re Miymoy (Takut dan Malu)

Memiliki rasa takut dan malu untuk melakukan kesalahan, mencuri, membunuh, merusak alam, serta takut kepada Sang Pencipta sebagai bentuk penghormatan. Nilai ini dimaknai sebagai "orang punya, orang punya tong punya, tong punya" (apa yang menjadi milik orang, adalah miliknya, apa yang menjadi milik kita, adalah milik kita).

Tapak tilas sejarah lahirnya Fagogoru dan budayanya berada di Hutan Damuli. Dari Damulilah mata air peradaban mengalir, hingga lahirlah Weda, Patani, Maba, dan Makean.

Damuli merupakan sebuah olikos (sumber kehidupan) yang menghidupi tiga negeri dengan kekayaan alam yang berlimpah berkebun, menanam pala, cengkeh, kelapa, dan sagu. Masing-masing negeri kemudian memiliki artikulasi bahasa yang berbeda-beda, baik dari tutur maupun bunyi, namun tetap saling mengerti.

Patani, yang menjadi pusat Kabupaten Halmahera Tengah, merangkul 10 kecamatan dan 61 desa. Sementara itu, Maba menjadi ibu kota Kabupaten Halmahera Timur dengan 102 desa di bawah naungan 10 kecamatan. Pulau Makean di Halmahera Selatan terbagi menjadi Makean Timur dan Makean Barat. Kemajuan di semua wilayah ini begitu cepat, mencakup sektor ekonomi, pertanian, pendidikan, perikanan, dan pembangunan.

Kami bersyukur lahir dari rahim tanah yang memiliki sejarah dan budaya yang menjadi pijakan serta pegangan hidup bagi tiga negeri. Kampung dengan udara yang segar, kebun, sungai, dan air yang memberi kehidupan.

Namun, peradaban yang mulia itu kini terkikis. Titipan budaya dan sejarah mulai retak dan punah, kehilangan makna. Sumber daya alam dikeruk habis oleh ratusan mil perusahaan tambang. Masyarakat tiga negeri dibunuh, diteror, dan dipenjarakan hanya karena mempertahankan ruang hidup "tong punya, tong punya, orang punya, orang punya".

Laju perampasan ruang hidup di Weda dan Halmahera Timur (Haltim) menjadikan penduduk asli sebagai budak di negeri sendiri, mereka yang tidak lagi punya kuasa. Fakta hari ini menunjukkan bahwa sumber daya alam, laut, dan daratan Weda, Patani, serta Maba, dikuasai oleh sekelompok elit penguasa, oligarki, dan investor yang berjingkrak-jingkrak di Bumi Fagogoru, Maluku Utara.

Masyarakat (Pnu Pitel) di Tiga Negeri Bersaudara kini terbelah. Benturan politik dan tarik-menarik kepentingan perebutan kursi bupati, wakil bupati, hingga DPRD, membuat mereka tercerai-berai. Uang dianggap lebih penting ketimbang budaya, sejarah, dan keberlangsungan generasi. Harapan untuk menjaga warisan leluhur dan menyejahterakan rakyat terkubur. Alih-alih berpihak pada masyarakat, para elite justru bersekutu dengan investor menangkap warganya sendiri, bahkan melegitimasi kerusakan lingkungan.

Hari ini, bertepatan dengan 12 Rabiul Awal, Weda, Patani, dan Maba menggelar tradisi Cokaiba, peringatan Maulid Nabi dengan zikir dan selawat. Namun, di balik perayaan itu, muncul pertanyaan bagaimana nasib orang tua, keluarga, dan saudara kita? Bagaimana pula nasib 11 warga Maba Sangaji yang kini disidangkan di Soasio, Tidore hanya karena berjuang mempertahankan budaya, sejarah, dan ruang hidup yang diwariskan Bortango, Borfa, dan Bornabi?

Apakah saudara di Weda dan Patani tidak tersinggung? Apakah tidak marah? Apakah Tiga Negeri Bersaudara tidak merasakan sakit, derita, duka, dan tangis?

Lalu, bagaimana dengan semboyan yang lahir di Hutan Damuli: “Bersaudarah yang baik, susah senang tetap sama-sama”? Bukankah siapa pun yang merasakan sakit dan lapar, seharusnya semua ikut merasakan hal yang sama? Penamaan Fagogoru—“gogoru” yang berarti rasa—melambangkan cinta, kasih sayang, persaudaraan, kebersamaan faisayang, falgali, tfaifi.

Apakah sejarah dan budaya Fagogoru kini hanya tinggal omong kosong? Sekadar cerita dongeng? Melalui tulisan ini, kita harus kembali menjahit cara kita ber-Fagogoru.

Atas nama Mahasiswa Fagogoru Maluku Utara, kami menegaskan mendesak Pemerintah Provinsi, Polda, Kejaksaan, dan Pengadilan untuk segera membebaskan 11 warga Maba Sangaji serta menolak perusahaan yang merusak hutan Patani dan Maba Selatan.

Posting Komentar